Alamat Sekretariat

Sekretariat :

Jalan Provinsi Km 220 Sebamban 1 Blok D, Desa Wanasari

Kecamatan Sungai Loban, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan, Kode Pos 72274. Phone : 08125169596

Email : parisadatanahbumbu@gmail.com

Situs : http://parisadatanahbumbu.blogspot.com

Senin, 26 November 2012

PARISADA

P A R I S A D A

 ( Sumber : http://stitidharma.org/parisada/ )

Manawa Dharmasastra Bab XII (Atha Dwadaco Dhyayah) sloka 110-112 memberikan petunjuk akan perlunya suatu majelis keagamaan yang bernama “Parisada”, sebagai berikut
Sloka 110:
DASAWARA WA PARISADYAM, DHARMAM PARIKALPAYET, TYAWARA WA PI WRTTASTHA, TAM DHARMAM NA WICALAYET
(Adapun Parisada itu setidak-tidaknya harus terdiri atas sepuluh orang yang sesuai dengan jabatan mereka, dan dinyatakan sebagai pemegang hukum; kekuatan sah itu tak seorang pun yang boleh membantahnya).
Sloka 111:
TRAIWIDYO HAITU KASTARKAMAIR, UKTO DHARMA PATNAKAH, TRAYASCASRAMINAH PURWE, PARISAT SYAD DASAWARA
(Tiga orang yang masing-masing mengetahui satu bagian dari Tiga-Weda; seorang ahli Lokika, seorang ahli Mimamsa, seorang yang mengetahui Nirukta, seorang yang ahli dalam Dharmasastra dan tiga golongan dari Catur Ashrama akan merupakan Parisada yang sah, terdiri atas setidak-tidaknya sepuluh orang anggota).
Sloka 112:
RG WEDA WIDYAJURWISCA, SAMAWEDAWID EWA CA, TRYAWARA PARISAJJNEYA, DHARMASAM SARYANIRNAYE
(Seorang yang mengetahui Rg Weda, seorang yang mengetahui Yayur Weda, dan seorang yang mengetahui Sama Weda akan dikenal merupakan majelis yang setidak-tidaknya terdiri atas tiga anggota yang memutuskan bagian hukum yang diragukan).
Tiga Weda yang dimaksud adalah Rg Weda, Sama Weda, dan Yayur Weda. Atharwa Weda tidak disebut karena merupakan kesimpulan dari ketiga Weda itu.
Lokika adalah pengetahuan tentang analisa perkembangan kehidupan sehari-hari yang sedang berlangsung serta mengaitkannya dengan ajaran-ajaran Weda. Seorang ahli Lokika mampu membuat tafsir atau implementasi Weda bagi pemecahan masalah kehidupan di masa kini.
Mimamsa yang artinya penelitian sistematis tentang Weda, adalah bagian dari Sad-Dharsana (enam pandangan filosofis Weda). Penelitian pada awal Weda yang dilakukan oleh Rsi Jaimini, disebut Purwa Mimamsa yang mengkaji kitab-kitab Brahmana dan Kalpa Sutra. Penelitian pada akhir Weda disebut Uttara Mimamsa atau Vedanta yang mengkaji Aranyaka dan Upanisad.
Nirukta adalah salah satu dari Sadangga Veda atau Wedangga (Siksa, Kalpa, Wyakarana, Nirukta, Chanda, dan Jyotisha) yang membahas tentang sinonim dan anonim kata-kata Weda.
Dharmasastra adalah hukum Hindu. Ahli Dharmasastra adalah orang yang mampu memutuskan suatu kasus berdasarkan Weda, antara lain dengan mempelajari kitab-kitab Hukum seperti Manawa Dharmasastra, Parasara Dharmasastra, dll.
Tiga golongan dari Catur Ashrama adalah kelompok dari Brahmacari Ashrama, kelompok dari Grhasta Ashrama, dan kelompok dari Wanaprasta Ashrama. Ashrama yang keempat, yaitu Sanyasin Ashrama tidak diikutkan karena kelompok ini sudah terbebas total dari segala permasalahan dunia.
Berpegang pada itu, pemerintahan di Bali sebelum zaman penjajahan Belanda, dipimpin oleh Raja bersama-sama Kasogatan atau Bhagawanta, yaitu tim para Pendeta Siwa dan Budha. Seiring dengan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali dan berdirinya pemerintah Republik Indonesia, maka peranan Bhagawanta hilang.
Para pemuka Hindu di Bali di era 1955/1959 mengamati ada ketimpangan-ketimpangan dalam pembinaan spiritual akibat hilangnya peranan lembaga Bhagawanta. Pada tanggal 21 s/d 23 Pebruari 1959 dilangsungkanlah Pesamuan Agung Hindu Bali di Gedung Fakultas Sastra UNUD, Denpasar yang berhasil membentuk Parisada Dharma Hindu Bali dengan susunan pengurus:
  • Ketua: Ida Pedanda Wayan Sidemen,
  • Wakil Ketua: I Gusti Bagus Oka,
  • Sekretaris: DR Ida Bagus Mantra,
  • dengan paruman Sulinggih sebanyak 11 orang dan paruman walaka sebanyak 22 orang.
Karya bersejarah Parisada Dharma Hindu Bali adalah Piagam Campuhan pada tanggal 23 Nopember 1961 yang berisi delapan ketetapan penting dalam mewujudkan keajegan Agama Hindu di Bali. Pada tahun 1968 Parisada Dharma Hindu Bali disahkan Pemerintah RI sebagai satu-satunya Lembaga Tertinggi umat Hindu di Indonesia, dengan nama baru: Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Peranan Parisada sebagai Majelis tertinggi umat Hindu di Indonesia adalah mengatur, memelihara, dan mengembangkan agama Hindu serta mempertinggi kesadaran hidup keagamaan dan kemasyarakatan umat Hindu. Sesuai dengan misi dan visi-nya, prestasi penting Parisada Hindu Dharma Indonesia yang patut dicatat antara lain:
  1. Menyusun klasifikasi Weda sebagai kitab suci Hindu.
  2. Membangun Ashrama Pengadyayan yang kemudian menjadi Institut Hindu Dharma.
  3. Menetapkan susunan pelinggih di Pura Tri Kahyangan.
  4. Menetapkan sistim kalender Hindu-Bali.
  5. Menetapkan upacara pitra yadnya agar berpedoman pada Lontar Yama Purana Tattwa.
  6. Kriteria cuntaka/ sebel dan masa berakhirnya.
  7. Mendesak Pemerintah untuk memasukkan pelajaran agama Hindu dalam kurikulum/ mata kuliah bagi para siswa yang beragama Hindu.
  8. Mendorong terbentuknya organisasi Wanita Hindu Indonesia dan Himpunan Mahasiswa Hindu Indonesia.
Dan masih banyak lagi keputusan, kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek Agama Hindu, dan bhisama-bhisama mengenai kehidupan beragama.
Walaupun sekian banyak peranan Parisada yang bisa ditonjolkan, namun masih sering terdengar keluhan dan ketidakpuasan masyarakat pada peranan Parisada. Ini disebabkan karena banyak orang kurang paham pada perbedaan antara Agama dan Adat, khususnya di Bali.
Sering kasus-kasus adat “dilemparkan” ke Parisada, padahal sudah ada lembaga khusus yang berwenang menangani, yaitu Desa Adat/ Pakraman dengan jajarannya, mulai tingkat Desa sampai Propinsi. Dalam pembinaan Desa Adat, Parisada mengambil porsi hanya sebagai nara sumber dan pemberi saran.
Timbul pertanyaan, apakah peranan Parisada Hindu Dharma Indonesia dewasa ini sudah sama seperti peranan Bhagawanta? Jawabannya sudah pasti: “Tidak” karena PHDI dalam struktur Pemerintahan tidak berperan apa-apa.
Gubernur, Bupati, Camat, tidak merasa perlu meminta pertimbangan PHDI dalam mengambil keputusan. Andaikata diminta pendapat, toh tidak mengikat, dalam artian pendapat PHDI boleh dituruti, boleh tidak dituruti.
Bhisama-bhisama yang dikeluarkan PHDI pada setiap Pesamuan Agung, juga tidak berarti apa-apa, karena tidak mempunyai kekuatan yang sifatnya ‘memaksa’ sebagaimana layaknya suatu dictum hukum.
Yang paling menyedihkan adalah, PHDI tidak mempunyai dana yang cukup untuk menjalankan aktivitasnya. Para pengurus dan pelaksana harian tidak digaji sepeser pun. Kerja PHDI bagaikan peminta-minta yang memohon belas kasihan Bapak-Bapak di Pemerintahan.
Di samping itu, jika memperhatikan sloka-sloka Manawa Dharmasastra di atas, benarkah PHDI sekarang telah dipimpin oleh orang-orang yang ahli Weda, Momamsa, dan Nirukta sebagaimana yang diupayakan ketika awal berdirinya di tahun 1959.
Jika kita menginginkan PHDI benar-benar menduduki tempat terhormat sebagai Lembaga Tertinggi Umat Hindu, maka kualitas organisasi dan kualitas personel perlu dibenahi dengan mengacu pada segi-segi historis seperti yang telah dikemukakan di atas.

(Posted by : I Wayan Sukadana, S.Hut - Kerta Buwana, Senin 27 Nopember 2012)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar