P A R I S A D A
( Sumber : http://stitidharma.org/parisada/ )
Manawa
Dharmasastra Bab XII (Atha Dwadaco Dhyayah) sloka 110-112 memberikan
petunjuk akan perlunya suatu majelis keagamaan yang bernama “Parisada”,
sebagai berikut
Sloka 110:
DASAWARA WA PARISADYAM, DHARMAM PARIKALPAYET, TYAWARA WA PI WRTTASTHA, TAM DHARMAM NA WICALAYET
(Adapun Parisada itu setidak-tidaknya
harus terdiri atas sepuluh orang yang sesuai dengan jabatan mereka, dan
dinyatakan sebagai pemegang hukum; kekuatan sah itu tak seorang pun yang
boleh membantahnya).
Sloka 111:
TRAIWIDYO HAITU KASTARKAMAIR, UKTO DHARMA PATNAKAH, TRAYASCASRAMINAH PURWE, PARISAT SYAD DASAWARA
(Tiga orang yang masing-masing
mengetahui satu bagian dari Tiga-Weda; seorang ahli Lokika, seorang ahli
Mimamsa, seorang yang mengetahui Nirukta, seorang yang ahli dalam
Dharmasastra dan tiga golongan dari Catur Ashrama akan merupakan
Parisada yang sah, terdiri atas setidak-tidaknya sepuluh orang anggota).
Sloka 112:
RG WEDA WIDYAJURWISCA, SAMAWEDAWID EWA CA, TRYAWARA PARISAJJNEYA, DHARMASAM SARYANIRNAYE
(Seorang yang mengetahui Rg Weda,
seorang yang mengetahui Yayur Weda, dan seorang yang mengetahui Sama
Weda akan dikenal merupakan majelis yang setidak-tidaknya terdiri atas
tiga anggota yang memutuskan bagian hukum yang diragukan).
Tiga Weda yang dimaksud adalah Rg Weda,
Sama Weda, dan Yayur Weda. Atharwa Weda tidak disebut karena merupakan
kesimpulan dari ketiga Weda itu.
Lokika adalah pengetahuan tentang
analisa perkembangan kehidupan sehari-hari yang sedang berlangsung serta
mengaitkannya dengan ajaran-ajaran Weda. Seorang ahli Lokika mampu
membuat tafsir atau implementasi Weda bagi pemecahan masalah kehidupan
di masa kini.
Mimamsa yang artinya penelitian
sistematis tentang Weda, adalah bagian dari Sad-Dharsana (enam pandangan
filosofis Weda). Penelitian pada awal Weda yang dilakukan oleh Rsi
Jaimini, disebut Purwa Mimamsa yang mengkaji kitab-kitab Brahmana dan
Kalpa Sutra. Penelitian pada akhir Weda disebut Uttara Mimamsa atau
Vedanta yang mengkaji Aranyaka dan Upanisad.
Nirukta adalah salah satu dari Sadangga
Veda atau Wedangga (Siksa, Kalpa, Wyakarana, Nirukta, Chanda, dan
Jyotisha) yang membahas tentang sinonim dan anonim kata-kata Weda.
Dharmasastra adalah hukum Hindu. Ahli
Dharmasastra adalah orang yang mampu memutuskan suatu kasus berdasarkan
Weda, antara lain dengan mempelajari kitab-kitab Hukum seperti Manawa
Dharmasastra, Parasara Dharmasastra, dll.
Tiga golongan dari Catur Ashrama adalah
kelompok dari Brahmacari Ashrama, kelompok dari Grhasta Ashrama, dan
kelompok dari Wanaprasta Ashrama. Ashrama yang keempat, yaitu Sanyasin
Ashrama tidak diikutkan karena kelompok ini sudah terbebas total dari
segala permasalahan dunia.
Berpegang pada itu, pemerintahan di Bali
sebelum zaman penjajahan Belanda, dipimpin oleh Raja bersama-sama
Kasogatan atau Bhagawanta, yaitu tim para Pendeta Siwa dan Budha.
Seiring dengan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali dan berdirinya
pemerintah Republik Indonesia, maka peranan Bhagawanta hilang.
Para pemuka Hindu di Bali di era
1955/1959 mengamati ada ketimpangan-ketimpangan dalam pembinaan
spiritual akibat hilangnya peranan lembaga Bhagawanta. Pada tanggal 21
s/d 23 Pebruari 1959 dilangsungkanlah Pesamuan Agung Hindu Bali di
Gedung Fakultas Sastra UNUD, Denpasar yang berhasil membentuk Parisada
Dharma Hindu Bali dengan susunan pengurus:
- Ketua: Ida Pedanda Wayan Sidemen,
- Wakil Ketua: I Gusti Bagus Oka,
- Sekretaris: DR Ida Bagus Mantra,
- dengan paruman Sulinggih sebanyak 11 orang dan paruman walaka sebanyak 22 orang.
Karya bersejarah Parisada Dharma Hindu
Bali adalah Piagam Campuhan pada tanggal 23 Nopember 1961 yang berisi
delapan ketetapan penting dalam mewujudkan keajegan Agama Hindu di Bali.
Pada tahun 1968 Parisada Dharma Hindu Bali disahkan Pemerintah RI
sebagai satu-satunya Lembaga Tertinggi umat Hindu di Indonesia, dengan
nama baru: Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Peranan Parisada sebagai Majelis
tertinggi umat Hindu di Indonesia adalah mengatur, memelihara, dan
mengembangkan agama Hindu serta mempertinggi kesadaran hidup keagamaan
dan kemasyarakatan umat Hindu. Sesuai dengan misi dan visi-nya, prestasi
penting Parisada Hindu Dharma Indonesia yang patut dicatat antara lain:
- Menyusun klasifikasi Weda sebagai kitab suci Hindu.
- Membangun Ashrama Pengadyayan yang kemudian menjadi Institut Hindu Dharma.
- Menetapkan susunan pelinggih di Pura Tri Kahyangan.
- Menetapkan sistim kalender Hindu-Bali.
- Menetapkan upacara pitra yadnya agar berpedoman pada Lontar Yama Purana Tattwa.
- Kriteria cuntaka/ sebel dan masa berakhirnya.
- Mendesak Pemerintah untuk memasukkan pelajaran agama Hindu dalam kurikulum/ mata kuliah bagi para siswa yang beragama Hindu.
- Mendorong terbentuknya organisasi Wanita Hindu Indonesia dan Himpunan Mahasiswa Hindu Indonesia.
Dan masih banyak lagi keputusan,
kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek Agama Hindu, dan bhisama-bhisama
mengenai kehidupan beragama.
Walaupun sekian banyak peranan Parisada
yang bisa ditonjolkan, namun masih sering terdengar keluhan dan
ketidakpuasan masyarakat pada peranan Parisada. Ini disebabkan karena
banyak orang kurang paham pada perbedaan antara Agama dan Adat,
khususnya di Bali.
Sering kasus-kasus adat “dilemparkan” ke
Parisada, padahal sudah ada lembaga khusus yang berwenang menangani,
yaitu Desa Adat/ Pakraman dengan jajarannya, mulai tingkat Desa sampai
Propinsi. Dalam pembinaan Desa Adat, Parisada mengambil porsi hanya
sebagai nara sumber dan pemberi saran.
Timbul pertanyaan, apakah peranan
Parisada Hindu Dharma Indonesia dewasa ini sudah sama seperti peranan
Bhagawanta? Jawabannya sudah pasti: “Tidak” karena PHDI dalam struktur
Pemerintahan tidak berperan apa-apa.
Gubernur, Bupati, Camat, tidak merasa
perlu meminta pertimbangan PHDI dalam mengambil keputusan. Andaikata
diminta pendapat, toh tidak mengikat, dalam artian pendapat PHDI boleh
dituruti, boleh tidak dituruti.
Bhisama-bhisama yang dikeluarkan PHDI
pada setiap Pesamuan Agung, juga tidak berarti apa-apa, karena tidak
mempunyai kekuatan yang sifatnya ‘memaksa’ sebagaimana layaknya suatu
dictum hukum.
Yang paling menyedihkan adalah, PHDI
tidak mempunyai dana yang cukup untuk menjalankan aktivitasnya. Para
pengurus dan pelaksana harian tidak digaji sepeser pun. Kerja PHDI
bagaikan peminta-minta yang memohon belas kasihan Bapak-Bapak di
Pemerintahan.
Di samping itu, jika memperhatikan
sloka-sloka Manawa Dharmasastra di atas, benarkah PHDI sekarang telah
dipimpin oleh orang-orang yang ahli Weda, Momamsa, dan Nirukta
sebagaimana yang diupayakan ketika awal berdirinya di tahun 1959.
Jika kita menginginkan PHDI benar-benar
menduduki tempat terhormat sebagai Lembaga Tertinggi Umat Hindu, maka
kualitas organisasi dan kualitas personel perlu dibenahi dengan mengacu
pada segi-segi historis seperti yang telah dikemukakan di atas.
(Posted by : I Wayan Sukadana, S.Hut - Kerta Buwana, Senin 27 Nopember 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar